Opini  

Haidar Alwi: Arahan Tegas Presiden, Bahaya Anarkisme, dan Ketajaman Membaca Polah Anggota Dewan serta Para Menteri

R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, menilai arahan Presiden Prabowo Subianto kepada Panglima TNI dan Kapolri pada 30 Agustus 2025 sebagai pesan penting bagi bangsa. Instruksi itu bukan sekadar teknis pengamanan, melainkan sinyal bahwa negara menjaga keseimbangan: aspirasi rakyat tetap dijamin, tetapi anarkisme tidak boleh dibiarkan.

*“Aspirasi rakyat memang sah dan wajib dijaga, tetapi anarkisme hanya akan merusak keadilan dan melukai bangsa sendiri. Negara tidak boleh membiarkan kebebasan yang mulia berubah menjadi amarah yang membabi buta. Dalam konteks inilah arahan Presiden harus dibaca sebagai upaya menjaga rakyat sekaligus menjaga marwah demokrasi,”* kata Haidar Alwi.

*Arahan Presiden dan Pesannya bagi Demokrasi.*

Arahan Presiden agar TNI Polri bertindak tegas lahir dari situasi sosial yang memanas. Rakyat turun ke jalan membawa aspirasi, namun sebagian aksi berakhir ricuh. Negara tidak bisa membiarkan kekacauan, tapi juga tidak boleh menutup ruang demokrasi.

*“Negara kuat bukan berarti menakutkan rakyatnya, melainkan membuat rakyat merasa aman dalam menyampaikan aspirasi. Ketika rakyat merasa aman, maka demokrasi berdiri tegak. Ketika rakyat merasa takut, maka yang tumbuh hanyalah kecurigaan. Oleh karena itu, ketegasan Presiden harus dipahami bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai pelindung bagi semua,”* jelas Haidar Alwi.

Pesan Presiden ini sejatinya bukan ancaman kepada rakyat, tetapi peringatan agar demokrasi tidak diperalat menjadi kekerasan. Namun, ketegasan itu harus diterjemahkan dengan cara yang manusiawi. Aparat tidak boleh menjadi musuh, melainkan pelindung. Profesionalisme dan proporsionalitas tindakan justru memperkuat kepercayaan rakyat bahwa negara hadir di sisi mereka.

Arahan ini muncul karena situasi di lapangan telah memperlihatkan bahaya anarkisme yang nyata.

*Ketika Aspirasi Bergeser Menjadi Anarkisme.*

Tuntutan rakyat awalnya soal keadilan dan kesejahteraan. Namun tragedi yang menimpa rakyat kecil memicu amarah yang meluap, lalu aksi berubah menjadi perusakan dan penjarahan. Gedung DPRD dibakar, rumah pejabat dijarah, dan fokus perjuangan bergeser.

*“Ketika rakyat mulai lupa tuntutan awal karena terhanyut oleh gambar-gambar perusakan, maka perjuangan kehilangan arah. Perjuangan kehilangan nilai ketika lebih dikenal karena kericuhan daripada gagasan. Itu sebabnya rakyat harus ingat, tujuan utama turun ke jalan adalah menuntut keadilan, bukan menambah kerusakan,”* kata Haidar Alwi.

Haidar Alwi menekankan, fenomena ini bisa dijelaskan oleh psikologi massa: scapegoating, crowd psychology, hingga trauma kolektif. Namun yang paling membahayakan adalah diamnya suara moral. Tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pegiat sipil justru bungkam, padahal kehadiran mereka bisa menjadi pendingin suasana.

*“Api emosi tidak akan pernah padam dengan gas air mata, tetapi bisa padam dengan kesejukan nurani. Karena itu, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pegiat sosial harus berani hadir, berbicara, dan menenangkan. Diam mereka adalah kehilangan arah bagi rakyat,”* jelas Haidar Alwi.

Dari sinilah muncul pertanyaan: mengapa rakyat sedemikian marah? Jawabannya, karena ada luka yang bersumber dari polah para pejabat sendiri.

*Polah Pejabat yang Menambah Bara.*

Haidar Alwi menegaskan, keresahan publik tidak lahir dari ruang kosong. Anggota dewan disorot karena menambah fasilitas di tengah rakyat kesulitan hidup.

Selain itu, ada pejabat yang terburu-buru mengambil keputusan. Ada kebijakan yang membatasi kebutuhan pokok hingga memicu antrean panjang. Ada pemangkasan anggaran yang diumumkan tanpa penjelasan memadai hingga memicu panik. Bahkan ada ucapan yang melukai ingatan sejarah bangsa. Semua ini memperdalam jurang antara rakyat dan pemimpinnya.

*“Ketika rakyat diminta sabar, pejabat justru harus memberi teladan empati. Jangan sampai ucapan atau kebijakan menambah luka. Rakyat marah bukan karena ingin rusuh, tetapi karena merasa diabaikan. Jika pejabat menutup telinga, maka kemarahan hanya akan semakin membesar,”* kata Haidar Alwi.

Menurutnya, Presiden harus jeli membaca polah pembantunya. Ada yang menenangkan suasana, ada yang menambah bara. Salah langkah dalam memilih atau membiarkan bisa berakibat fatal.

*“Kebijakan yang salah arah harus segera dikoreksi, bukan dipertahankan. Tegas kepada pejabat bukan kelemahan, melainkan keberpihakan kepada rakyat. Presiden harus menunjukkan bahwa ia berdiri bersama rakyat, bukan terjebak dalam kepentingan politik jangka pendek,”* jelas Haidar Alwi.

*Menjaga Arah Bangsa.*

Haidar Alwi menghimbau agar rakyat jangan lupa pada tuntutan awal. Aspirasi yang benar harus diperjuangkan secara bermartabat, bukan dengan anarkisme. Anggota dewan dan para pejabat masih punya waktu memperbaiki diri, tetapi kesempatan itu semakin sempit.

*“Bangsa besar adalah bangsa yang berani memperbaiki kesalahan di tengah badai, bukan menunggu langit cerah. Jangan biarkan luka sosial melebar, jangan biarkan rakyat kehilangan arah. Presiden sudah memberi arahan, kini saatnya semua pihak membaca dengan bijak agar bangsa ini tidak terjerumus pada kekacauan,”* pungkas Haidar Alwi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *