Opini  

Pejabat Kepala Desa Jadi Makelar Tanah, Warga dan Perusahaan Dirugikan

Pejabat Kepala Desa Jadi Makelar Tanah, Warga dan Perusahaan Dirugikan

Klaten – Proses pembebasan lahan di Desa Kemiri, Klaten, menimbulkan masalah serius. Warga mengaku belum menerima pembayaran penjualan tanah meski lahannya telah dinyatakan dibebaskan, sementara pihak perusahaan, PT Nata Jaya (Produsen sarung tangan), merasa dirugikan karena pembangunan pabrik terhambat.

Koordinator pembebasan pemilik lahan Bapak Supali, sebelumnya menyampaikan bahwa pelepasan tanah warga sudah berlangsung beberapa bulan lalu. Namun hingga kini hak warga berupa pembayaran belum terealisasi.

“Kami dari perusahaan PT. Nata Jaya sudah melakukan pembayaran pelunasan pada awal bulan April 2025 bahwa yang penerimaan dikuasakan ke Kepala Desa, kami pihak Perusahaan merasa dirugikan karena pihak perusahaan semestinya lahan sudah bisa dipagari dilakukan pembangunan dan semua pelepasan hak dan surat kuasa sudah ada, tinggal proses HGB,” ujar Lita, Sekretaris Perusahaan PT Nata Jaya, Sabtu (28/9).

Koordinator pembebasan pemilik lahan juga menyebut, Kepala Desa setempat sempat berjanji menyelesaikan pembayaran kepada pemilik lahan tanah tetapi hingga saat ini pihak pemilik lahan belum dibayarkan. Namun sampai saat ini polemik belum mereda dan pembangunan pagar pabrik masih terhambat akibat ketidakpastian.

Posisi Kepala Desa yang merangkap sebagai pejabat publik sekaligus koordinator pembebasan lahan dengan dasar surat penujukan langsung dari perushaan dinilai menimbulkan konflik kepentingan.

Peran ganda tersebut membuka celah penyalahgunaan wewenang karena Kepala Desa terlibat langsung dalam transaksi pengadaan tanah yang berkaitan dengan kepentingan perusahaan.

Pengamat Hukum Teuku Afriadi, SH menilai praktik tersebut tidak hanya bermasalah secara etika, tetapi juga secara hukum. “Rangkap peran Kepala Desa sebagai pejabat Desa, dalam pembebasan lahan sangat rawan disalahgunakan. Secara hukum administrasi, Kepala Desa seharusnya netral dan tidak masuk ke ranah transaksi. Bahkan hal ini bisa mengarah pada tindak pidana korupsi jika terbukti ada penerimaan atau pengaturan keuntungan dari proses tersebut,” ujarnya.

Menurutnya, Pasal 12B Undang-Undang Tipikor secara tegas mengatur bahwa pejabat publik yang menerima gratifikasi atau keuntungan dari transaksi yang berhubungan dengan kewenangannya dapat dijerat pidana. “Praktik makelar tanah oleh pejabat Desa jelas merugikan masyarakat dan mencederai prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih,” tegas Teuku Afriadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *