Kasus Penganiayaan Suarni Sapikerep: Cermin Ketimpangan Hukum antara WNA dan WNI di Daerah Wisata

Kasus Penganiayaan Suarni Sapikerep: Cermin Ketimpangan Hukum antara WNA dan WNI di Daerah Wisata

Probolinggo — Sudah delapan bulan berlalu sejak Suarni (43), seorang janda dari Dusun Krajan, Desa Sapikerep, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, melaporkan kasus penganiayaan yang diduga dilakukan oleh warga negara asing (WNA) bernama Mr. Cui, pemilik Hotel Villa88. Namun, hingga kini, keadilan bagi perempuan pekerja lemah itu masih samar.

Laporan resmi ke Unit PPA Polres Probolinggo telah dibuat, lengkap dengan hasil visum et repertum dan sejumlah saksi kunci. Tetapi, kasus ini seakan membeku. Tidak ada penetapan tersangka. Tidak ada kejelasan hukum.
Yang tersisa hanya luka, trauma, dan tanda tanya besar: apakah hukum di Indonesia masih berpihak pada rakyat kecil?

Suarni bekerja sebagai asisten rumah tangga di Villa88 milik Mr. Cui. Pada suatu pagi, ia dituduh mencuri uang dan perhiasan senilai Rp40 juta. Tanpa bukti, tuduhan itu berujung amarah.

“Saya langsung dipukul pakai asbak, vas bunga, motor – motoran, tangan, dan diinjak-injak di perut sampai terkencing-kencing,” tutur Suarni lirih saat ditemui usai audiensi di DPRD Probolinggo, Rabu (22/10/2025).

Tubuhnya penuh luka. Wajahnya bengkak dan berdarah. Tetangga terdekat, Sri Mukti, Istri BPD Sapikerep, menjadi saksi mata.

“Kalau anak saya tidak datang, mungkin Bu Suarni sudah mati. Kami lihat sendiri dia dipukuli di rumahnya sendiri,” katanya.

Saksi lain, Yoga, anak BPD Sapikerep, memperkuat kesaksian bahwa pelaku datang ke rumah Suarni tanpa izin, bersama rekannya berinisial AN, lalu menyerang korban hingga tersungkur.

Laporan penganiayaan tersebut teregistrasi di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Probolinggo. Penyidikan sempat berjalan, bahkan verbal dan pemeriksaan saksi telah rampung, namun proses pelimpahan ke kejaksaan tak kunjung dilakukan.

“Penyidik bilang tinggal pelimpahan. Tapi dua bulan berlalu, tiba-tiba diam. Kami curiga ada sesuatu,” ungkap Suliadi, S.H., M.H., Koordinator Aliansi Aktivis Kabupaten Probolinggo yang kini mendampingi korban.

Aliansi tersebut menilai, unsur penganiayaan berat sudah terpenuhi. Bahkan, menurut Suliadi, seharusnya pasal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga bisa diterapkan karena status Suarni sebagai pekerja rumah tangga.

“Alat bukti kuat, saksi lebih dari dua, visum jelas, bahkan alat pemukul diduga asbak keramik juga ada. Tapi kenapa pelaku belum tersangka?” tanya Suliadi.

Merasa tak mendapat keadilan, Suarni bersama Aliansi Aktivis mendatangi Komisi I DPRD Kabupaten Probolinggo. Dalam pertemuan terbuka itu, anggota DPRD menerima laporan dan berjanji menindaklanjuti kasus yang dinilai “aneh” karena berjalan di tempat.

“Kami akan pastikan sejauh mana proses ini berjalan di kepolisian. Jika terbukti mandek tanpa alasan, kami akan panggil langsung pihak Polres,” ujar Muklis, anggota Komisi I DPRD Probolinggo.

Muklis menegaskan, DPRD akan mengawal kasus ini hingga tuntas. “Tidak boleh ada keadilan yang dipinggirkan hanya karena pelakunya orang asing atau punya modal besar,” tegasnya.

Ketua DPRD Kabupaten Probolinggo, Okka Mahendra, juga menginstruksikan Komisi I untuk menyerap aspirasi korban dan mendesak aparat agar menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

“Negara harus hadir melindungi rakyat kecil yang teraniaya, apalagi oleh WNA,” kata Okka.

Kasus Suarni menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap ketimpangan hukum. Dari lereng Gunung Bromo, suara lirihnya kini menggema hingga ke gedung DPRD.

Purnawirawan TNI Kodim 0820/Probolinggo, Dodik, yang menganggap anak Suarni seperti anak sendiri, tak kuasa menahan amarah.

“Saya ini mantan tentara, saya tahu arti kehormatan bangsa. Kalau warga negara kita diinjak oleh orang asing dan hukum diam saja, lalu di mana harga diri bangsa ini?”

Suarni kini hidup dengan trauma. Ia masih menjalani pengobatan akibat luka di kepala dan perut. “Kadang kalau bicara, suaranya nggak nyambung,” kata Dodik lirih.

Publik kini menunggu: apakah hukum di Kabupaten Probolinggo akan membuktikan keberpihakannya pada keadilan, atau justru tunduk pada uang dan pengaruh orang asing?

Aliansi Aktivis dan DPRD sepakat untuk mengawal kasus ini hingga pelaku dihukum. Namun masyarakat menilai, kasus ini adalah ujian bagi aparat penegak hukum: tajamkah hukum kepada yang berkuasa, atau hanya tajam kepada yang lemah?

“Kami akan terus bersuara. Kalau perlu, kami datangkan ahli hukum dari Universitas Brawijaya dan Airlangga untuk ikut menginvestigasi. Keadilan tidak boleh mati di Probolinggo,” tegas Suliadi.

Delapan bulan adalah waktu panjang bagi seorang janda miskin menunggu keadilan. Tetapi di tengah gelombang ketidakpastian, Suarni masih berjuang. Ia tak sekadar mencari pembalasan, tapi menuntut pengakuan bahwa hukum di negeri ini masih berpihak pada rakyat.

“Negara harus hadir, bukan sekadar slogan,” kata Suliadi.
Dan bagi Suarni, yang masih menatap kosong dengan bekas luka di wajahnya, satu kalimat menjadi pegangan:

“Saya hanya ingin keadilan, meski harus saya cari sampai titik darah penghabisan.” (Tim/Red/**)

Sumber: Edi D

Dokumentasi: Aliansi Aktivis Kabupaten Probolinggo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *