Jatim, 30/05/2025, Terkait kasus pungli PTSL dan korupsi anggaran dana desa juga beberapa proyek mangkrak tak terurus,disinyalir dugaan kuat ada keterlibatan oknum dalam yang sengaja main senyap dan memilih mengembalikan uang melalui oknum tertentu
Mr.x (52)th.oknum kades yang tidak mau disebutkan namanya merasa sudah mengembalikan uang ke oknum pejabat dengan nominal ratusan juta beserta rekanan yang lain ada pun perangkat desa juga memberikan pengakuan bahwa sudah mengembalikan uang tersebut sampai jual motor dan lain nya.
” Takut mas saya, itu orang dah terkenal gak main-main kalau soal korupsi, apa lagi soal pungli saya lebih baik menyerah dan mengembalikan,kalau orang lain pasti minta uang dll,tapi orang ini tidak, datang aja dah bikin orang ketakutan,ngeri orang ponorogo satu itu,meras dan minta uang selama ini tidak, ujar oknum kades mr.x yang tidak mau di sebutkan namanya.
Pelanggaran kode etik kepala desa adalah tindakan atau perilaku kepala desa yang bertentangan dengan norma-norma, nilai-nilai, dan aturan yang terkandung dalam kode etik kepala desa. Pelanggaran ini dapat berupa penyalahgunaan wewenang, korupsi, tindakan tidak terpuji, dan lain sebagainya, yang dapat mengakibatkan sanksi administratif, moral, bahkan pemberhentian dari jabatan.
Jenis Pelanggaran Kode Etik Kepala Desa:
Penyalahgunaan Wewenang:
Menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, misalnya dalam pengadaan barang dan jasa desa, pengelolaan anggaran desa, atau pemanfaatan aset desa.
Korupsi:
Menerima suap, melakukan penggelapan dana desa, atau memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara yang tidak sah.
Tindakan Tidak Terpuji:
Melakukan perbuatan asusila, perjudian, atau tindakan lain yang merusak citra desa.
Pelanggaran terhadap Peraturan:
Melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan desa.
Pemecatan Perangkat Desa yang Tidak Sah:
Memberhentikan perangkat desa tanpa alasan yang jelas atau melalui prosedur yang tidak benar.
Sanksi Pelanggaran Kode Etik Kepala Desa:
Sanksi Moral:
Teguran lisan atau tertulis, pernyataan tidak puas, atau sanksi moral lainnya.
Sanksi Administratif:
Pemberhentian sementara, penundaan hak-hak tertentu, atau sanksi administratif lainnya.
Pemberhentian:
Pemberhentian dari jabatan kepala desa, baik sementara maupun tetap, tergantung pada tingkat keparahan pelanggaran.
Proses Penanganan Pelanggaran:
1. Pelaporan:
Masyarakat atau pihak terkait dapat melaporkan dugaan pelanggaran kode etik kepala desa kepada instansi yang berwenang, seperti inspektorat daerah atau badan pengawas desa.
2. Pemeriksaan:
Pihak berwenang akan melakukan pemeriksaan terhadap laporan dugaan pelanggaran, termasuk mengumpulkan bukti-bukti dan meminta keterangan dari pihak-pihak terkait.
3. Penjatuhan Sanksi:
Berdasarkan hasil pemeriksaan, pihak berwenang akan menjatuhkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
Penting untuk diperhatikan:
Kepala desa memiliki kewajiban untuk menjalankan tugasnya dengan baik dan sesuai dengan kode etik yang berlaku.
Pelanggaran kode etik dapat berdampak buruk pada citra desa dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa.
Masyarakat memiliki hak untuk melaporkan dugaan pelanggaran kode etik kepala desa dan memastikan proses penegakan hukum berjalan dengan adil.
” Ya orang ini aja mas,heran saya gak mau duit apa memang gimana,tapi modelnya gak meyakinkan tapi ngeri-ngeri sedap ternyata setelah ditelusuri Cyber beneran dia, meski orangnya agak tertutup, juga diam nya membahayakan”, ujarnya sambil ngopi dan tersenyum
Pasal-pasal yang mengatur tindak pidana korupsi dalam KUHP baru (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023) terdapat pada Pasal 603, 604, 605, dan 606. Pasal-pasal ini mengatur berbagai aspek tindak pidana korupsi, termasuk perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, serta ancaman pidana yang dapat dikenakan.
KUHP baru ini menggabungkan beberapa ketentuan yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Beberapa poin penting terkait tindak pidana korupsi dalam KUHP baru:
Definisi korupsi:
Tindak pidana korupsi diartikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh setiap orang untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Unsur-unsur korupsi:
Unsur-unsur tindak pidana korupsi meliputi perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Sanksi pidana:
KUHP baru mengatur ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda.
Pembeda dengan UU Tipikor sebelumnya:
KUHP baru tidak lagi menempatkan tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) seperti pada UU Tipikor sebelumnya.
Dengan adanya KUHP baru ini, diharapkan penanganan tindak pidana korupsi dapat lebih komprehensif dan efektif, serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat
” Banyak bangunan mangkrak karena itu mungkin beliau keluar masuk desa dan nyusup ke kota juga dinas terkait mencari barang bukti tapi selalu dapat , semoga kedepan kami pun bisa melayani masyarakat dengan baik “, imbuhnya harap-harap cemas
Sustainable Indonesia
“Tindak Pidana Korupsi” Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Diposkan pada 14 September 2023
Setelah lebih dari satu abad Indonesia menggunakan “Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie atau WvSNI” atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan warisan hukum kolonial Belanda, pada awal 2 Januari 2023 lalu, DPR menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Baru”). Berdasarkan Pasal 624 KUHP baru, undang-undang ini akan berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan (akan berlaku pada 2 Januari 2026) dan secara otomatis akan mencabut dan menyatakan WvS tidak lagi berlaku.
Pemerintah mengharapkan KUHP baru ini dapat menjadi reformasi hukum pidana dengan pendekatan sistem pemidanaan yang berbeda. Keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif diutamakan sebagai sanksi pidana alternatif selain pidana penjara berupa denda, kerja sosial, dan pengawasan.
Salah satu pengaturan pada KUHP baru adalah pasal tentang tindak pidana korupsi (tipikor) yang mencabut ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5, Pasal 11 dan Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”). Sehingga pengaturannya di KUHP baru menjadi ketentuan sebagaimana Pasal 603 sampai dengan Pasal 606. Pasal 79 Ayat (1) KUHP baru juga mengatur ancaman pidana denda menjadi 8 (delapan) kategori, yaitu:
Kategori I, Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
Kategori II, Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
Kategori III, Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
Kategori IV, Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
Kategori V, Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
Kategori VI, Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
Kategori VII, Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan
Kategori VIII, Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Berikut tabel perubahan beberapa pasal UU Tipikor dengan KUHP baru berdasarkan jenis-jenis korupsi.
Unsur Hukuman Perbedaan
Jenis Korupsi: Merugikan Keuangan Negara
UU 31/1999 jo. UU 20/2001 (Pasal 2)Setiap orang;Yang secara melawan hukum;Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi;Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; Penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan; Denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Menurunnya ancaman minimal pidana penjara (Pasal 603 KUHP baru) yang semula 4 tahun (dalam Pasal 2 UU Tipikor) menjadi 2 tahun dan denda sebelumnya dapat dikenakan minimal Rp 200 juta menjadi Rp 10 juta.
KUHP Baru, UU 1/2023 (Pasal 603)Setiap orang;Yang secara melawan hukum;Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;Yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan;Denda paling sedikit kategori II (Rp10.000.000,00) dan paling banyak kategori VI (Rp2.000.000.000,00).
UU 31/1999 jo. UU 20/2001 (Pasal 3)Setiap orang; Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi;Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau: Denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Meningkatnya ancaman minimum pidana penjara yang semua 1 (satu) tahun menjadi 2 (dua) tahun.Menurunnya ancaman minimum denda yang semula hanya 50 juta menjadi 10 juta.Meningkatnya ancaman maksimal denda yang semula 1 milyar rupiah menjadi 2 milyar.
KUHP Baru, UU 1/2023 (Pasal 604)Setiap orang;Yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi;Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;Yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan;Denda paling sedikit kategori II (Rp10.000.000,00) dan paling banyak kategori VI (Rp2.000.000.000,00).
Jenis Korupsi: Suap Menyuap
UU 31/1999 jo. UU 20/2001 (Pasal 5 ayat (1), Suap Aktif)Setiap orang; Yang memberi atau menjanjikan sesuatu;Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut; Berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya;Yang bertentangan dengan kewajibannya. AtauMemberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban;Dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya; Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau; Denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Meningkatnya ancaman maksimum pidana penjara yang semula 5 tahun menjadi 6 tahun.Meningkatnya ancaman denda maksimum yang semula 250 juta menjadi 500 juta.
KUHP Baru, UU 1/2023 (Pasal 605 ayat (1))Setiap Orang yang;Memberi atau menjanjikan sesuatu; Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara;Dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, Yang bertentangan dengan kewajibannya; atauMemberi sesuatu Kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban;Yang dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan Denda paling sedikit kategori III (Rp50.000.000,00) dan paling banyak kategori V (Rp500.000.000,00).
UU 31/1999 jo. UU 20/2001 (Pasal 5 ayat (2), Suap Pasif)Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara;Yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b. Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau; Denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Meningkatnya ancaman maksimum pidana penjara yang semula 5 tahun menjadi 6 tahun.Meningkatnya ancaman denda maksimum yang semula 250 juta menjadi 500 juta.
KUHP Baru, UU 1/2023 (Pasal 605 ayat (2))Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara; Yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan; Denda paling sedikit kategori III (Rp50.000.000,00) dan paling banyak kategori V (Rp500.000.000,00).
UU 31/1999 jo. UU 20/2001 (Pasal 13, Suap Aktif)Setiap orang;Yang memberi hadiah atau janji kepada Pegawai Negeri;Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji diangggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. Pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau;Denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah) Meningkatnya denda maksimum yang semula 150 juta menjadi 200 juta.
KUHP Baru, UU 1/2023 (Pasal 606 ayat (1))Setiap Orang;Yang memberikan hadiah atau janji;Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara; Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. Pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan; Denda paling banyak kategori IV (Rp200.000.000,00).
UU 31/1999 jo. UU 20/2001 (Pasal 11, Suap Pasif)Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara Yang menerima hadiah atau janji Padahal diketahui atau patut diduga Bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau;Denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) Menurunnya ancaman maksimal pidana penjara yang semula 5 tahun menjadi 4 tahun.Menurunnya ancaman maksimal denda dari 250 juta menjadi hanya 200 juta.
KUHP Baru, UU 1/2023 (Pasal 606 ayat (2))Pegawai negeri atau penyelenggara negaraYang menerima hadiah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan Denda paling banyak kategori IV (Rp200.000.000,00).
Dalam tabel di atas, terlihat adanya perbedaan pengaturan mengenai perbedaan sanksi. Rumusan perbedaan sanksi tersebut dapat menimbulkan problematik di masyarakat terkait dengan efektivitas penjatuhan sanksi. Seperti yang diketahui, penentuan pidana yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang merupakan suatu kebijakan yang mengkriminalisasi perbuatan yang sebelumnya bukan tindak pidana kejahatan. Konsep pemidanaan di Indonesia, sampai saat ini masih berorientasi pada pandangan yang bersifat preventif dan pembinaan, yang dewasa ini dianggap lebih modern dan karena itu banyak mempengaruhi kebijakan politik kriminal di Indonesia, termasuk penentuan pidana dalam suatu undang-undang.
Laporan : Dandy Pion Lebah
Jabatan : c.e.o sekaligus admin pion lebah.