Bojonegoro — Aktivitas tambang pasir ilegal di Desa Tanggungan, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro, kini menjadi bukti betapa rapuhnya penegakan hukum di daerah. Penambangan tanpa izin itu berjalan terang-terangan, seakan menantang aparat dan hukum negara. Sementara itu, warga hanya bisa menonton tanah kelahiran mereka dirusak perlahan.
Sejak subuh hingga larut malam, deretan truk pengangkut pasir melintasi jalan desa tanpa henti. Jalan yang dulunya layak kini berubah menjadi jalur hancur penuh lubang dan retakan akibat tonase berlebih kendaraan tambang. Debu tebal ikut beterbangan, memasuki rumah-rumah warga, mengancam kesehatan anak-anak dan lansia yang tinggal di sekitar lokasi.
Beberapa dump truck juga terlihat parkir sembarangan di bahu jalan, membuat lalu lintas tersendat. Kecelakaan kecil sudah beberapa kali terjadi, namun tetap tak menggerakkan aparat untuk turun tangan.
“Truk lewat tiap hari, jalan rusak makin parah. Kami sudah berkali-kali lapor, tapi tidak ada tindakan. Seolah-olah tambang ini memang dilindungi,” ujar salah satu warga, Rabu (14/11/2025). Ia meminta identitasnya dirahasiakan karena takut ada tekanan.
Saat ditanya soal legalitas tambang, warga itu tertawa getir. “Kalau legal, harusnya ada pengawasan. Ini malah jalan rusak, truk seenaknya, tapi tetap berjalan. Jelas ini tambang kebal hukum,” ucapnya.
Informasi lain mengarah pada seorang pemilik berinisial B yang diduga kuat menjadi pengendali kegiatan tambang liar tersebut. Namun, sampai berita ini diturunkan, baik pihak kepolisian maupun pemerintah daerah belum memberikan tanggapan atau klarifikasi.
Ketiadaan langkah tegas ini membuat masyarakat menduga ada permainan besar di balik pembiaran tambang ilegal tersebut.
Padahal, aturan sudah sangat tegas. Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 menyatakan:
“Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Namun, ancaman pidana itu justru tak berarti apa-apa di Desa Tanggungan. Tambang berjalan, truk melintas, jalan rusak, dan aparat hanya menonton.
Lebih tragis lagi, masyarakat yang mengeluhkan justru merasa seperti menghadapi tembok tebal yang mustahil ditembus.
“Kami ini warga kecil. Lapor pun tidak digubris. Kalau sudah begini, kami bertanya-tanya: masih adakah hukum yang melindungi rakyat?” kata warga lain dengan nada getir.
Kerusakan jalan telah menghambat aktivitas ekonomi, memperlambat mobilitas anak sekolah, hingga mengancam keselamatan pengendara motor. Namun, hingga kini tidak tampak upaya perbaikan maupun penindakan.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar:
Apakah aparat penegak hukum benar-benar tidak mampu, atau memang tidak mau bertindak?
Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari tambang ilegal yang dibiarkan merajalela ini?
Hingga artikel ini dirilis, aktivitas tambang pasir ilegal di Desa Tanggungan masih terus berlangsung, seolah mengirim pesan bahwa hukum bisa ditawar — selama pelakunya cukup kuat, cukup kaya, atau cukup “didekati”.
Sementara itu, warga hanya berharap satu hal: keberanian aparat untuk memihak rakyat, bukan pelaku kejahatan lingkungan.
